Pengertian Wudhu
Wudhu menurut bahasa artinya bersih dan indah, sedangkan menurut istilah syariah Islam artinya adalah menggunakan air pada anggota badan tertentu dengan cara tertentu yang dimulai dengan niat guna menghilangkan hadast kecil. Sedahngkan menurut Hanafiyah, pengertian wudhu adalah mensucikan diri dengan menggunakan air untuk keempat anggota tubuh kita mulai dari wajah, kedua tangan, kepada, dan kedua kaki dengan cara-cara tertentu.
Dalam kata wudhu terkandung sebuah arti bahwa seorang muslim hendaknya memulai
segala ibadah dan kehidupannya dengan kesucian lahir dan batin. Sehingga wudhu
disyari’atkan bukan hanya ketika kita hendak beribadah, bahkan juga disyari’atkan dalam seluruh kondisi. Oleh karena itu, seorang muslim dianjurkan agar selalu berada dalam kondisi bersuci (wudhu’) sebagaimana yang dahulu yang dilazimi oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya yang mulia. Mereka senantiasa berwudhu, baik dalam kondisi senang atau dalam kondisi susah dan kurang menyenangkan (seperti, saat musim hujan dan musim dingin). Kebiasaan berwudhu’ ini butuh kepada kesabaran tinggi, sebab kita terkadang terserang perasaan malas. Perasaan malas ini akan hilang –Insya Allah- saat kita mengetahui keutamaan wudhu’.
Hukum Wudhu
Sebenarnya hukum wudhu itu sendiri itu sunnah, tapi hukum wudhu naik derajat menjadi
wajib bila hendak sholat, seperti dalam sabda Nabi Muhammad: .
“Tidak diterima sholatmu tanpa Bersuci atau Wudhu (HR. Muslim).
dan “Bersuci atau Berwudhu adalah sebagian dari iman (HR. Muslim).
Maka dari itu untuk sahnya shalat kita, perlunya kita memperbaiki dari yang awal yaitu cara berwudhu yang benar, jika wudhunya salah maka sholatnya tidak diterima, kita jangan pernah merasa cukup ilmu tentang wudhu, akan lebih baik jika kita mendalami
tentang ilmu wudhu sehingga kita akan merasa lebih yakin dan mantap dalam mengerjakan sholat baik fardhu maupun sholat sunnah.
Manfaat Wudhu
1. Wudhu mempunyai banyak keutamaan dan manfaat seperti yang diterangkan dari
Sabda Nabi Muhammad SAW: “Barang siapa yang berwudhu secara sempurna,
maka dosa-dosanya akan gugur atau hilang jasad-nya hingga keluar juga dari bawah
kuku-kuku’nya (HR. Muslim). dan “Sesungguh Umatku kelak akan datang pada hari
kiamat dalam keadaan muka dan kedua tangannya kemilau bercahaya karena
bekas Berwudhu”.
2. Dalam hadist dijelaskan: “Apabila seorang dari kalian berwudhu’, lalu ia
menyempurnakan wudhu’nya, kemudian ia pergi ke masjid karena semata-mata
hanya untuk melakukan shalat, maka tidaklah ia melangkahkan kaki kirinya
melainkan terhapus kejelekan darinya dan dituliskan kebaikan bersama langkah
kaki kanannya hingga masuk masjid.” (HR. At-Thabrani).
3. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Maukah kalian aku tunjukkan suatu
amalan yang dengannya Allah akan menghapus dosa-dosa dan mengangkat
derajatnya! Para shahabat berkata: “Tentu, wahai Rasulullah. Kemudian Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Menyempurnakan wudhu’ walaupun dalam
kondisi sulit, memperbanyak jalan ke masjid, dan menunggu shalat setelah shalat,
maka itulah yang disebut dengan ar ribath.” (HR. Muslim).
4. Diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Tidaklah seorang muslim tidur di malam hari dalam keadaan dengan
berdzikir dan bersuci, kemudian ketika telah terbangun dari tidurnya lalu meminta
kepada Allah kebaikan dunia dan akhirat, melainkan pasti Allah akan
mengabulkannya.”
5. Walaupun tidak ada penelitian ilmiah yang menyatakan bahwa berwudhu dapat
mencerahkan wajah. Namun faktanya, Anda bisa melihat orang-0rang yang baik
agamanya dan senantiasa menjaga wudhu maka wajahnya akan tampak cerah dan
bercahaya. Berbeda dari orang ahli maksiat biasanya wajahnya justru terlihat kusam,
gelap dan tidak enak dipandang. Maka itu, kalau Anda ingin punya wajah cerah
enggak perlu repot-repot mengoleskan berbagai krim pemutih, cukup
memperbanyak wudhu saja.
Dalil Perintah Wudhu
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (Surat Al-Ma'idah Ayat 6)
Syarat syah wudhu
Islam
Baigh
Tidak berhadst besar
Menggunakan air yang suci dan dapat mensucikan (Air mutlak)
Tidak ada sesuatu yang menghalangi sampainya air ke kulit (Tato, kutek dll)
Air Suci Mensucikan
Air yang suci dan mensucikan biasa disebut dengan air yang bersih atau air muthlaq. Yaitu air yang turun dari langit atau keluar dari bumi yang belum dipakai untuk bersuci.
air suci mensucikan, yang dalam fiqih dikenal dengan istilah Thahirun Li nafsihi Muthahhirun li ghairihi. Contoh Air Suci Mensucikan:
1. Air hujan.
2. Air sumur.
3. Air laut.
4. Air sungai.
5. Air telaga.
6. Air embun.
7. Air salju.
8. Air ledeng/PDAM
Rukun wudhu
1. Niat
2. Membasuh muka (mulai dari tempat tumbuhnya rambut kepala bagian atas sampai
dagu, dan dari telinga kanan samapai telinga kiri)
3. Membasuh kedua tangan sampai siku
4. Mengusap sebagian kepada rambut kepala
5. Membasuh kedua telapak kaki sampai mata kaki
6. Tertib / muwalah (Sesuai dengan urutan)
Doa sebelum dan sesudah wudhu
Berikut ini adalah urutan-urutan langkah atau tata cara doa dalam melakukan wudhu : Ketika diperjalanan untuk berwudhu
اللهم اغفر لى ذنبى ووسع لى فى دارى وبارك لى فى رزقى
Latin
Allohummagfirlii dzambii wawasi'lii fii Fii daarii wabariklii Fii rizqiiArtinya : “Ya Allah,ampunilah dosaku, lapangkanlah rumahku dan berkahilah riqziku”
Do’a Ketika mau menggunakan air wudhu’
اللهم اجعل الماء طهورا
Latin
Allhamdulillahi ladzii ja’alal maa’a thohuuraa.Artinya: “ Segala puji bagi Allah Dzat yang telah menjadikan air suci”
Do’a Ketika Mencuci Kedua Tangan
اللهم إنى أسألك اليمنى والبركة وأعوذ بك من السؤم والهلكة
Latin
Allaahumma innii as-alukal yumnaa wal barokaata wa-andzubika minas syu’mi wal halakah.Artinya: ”Wahai Tuhanku,Sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikan ibadah dan keberkahan,dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukan dan kebinasaan".
Do’a Ketika Berkumur
اللهم اشقنى من حوض نبيك محمد صلى الله عليه وسلم كعسا أجمع بعده أبدا
Latin
Allaahumma asqinii min haudi Nabiyyika Muhammadin shallallaahu ’alaihi wasallama ka’san azhma’u ba’dahu abadan.Artinya: ”Wahai Tuhanku,beri minumlah aku dari air telaga Nabi-Mu Nuhammad Saw.Satu gelas yang tidak akan haus buat selama-lamanya.”
Do’a Ketika Menghirup Air
اللهم أرحنى رائحة الجنة ,وأنت عنى راض
Latin
Allaahumma arrihni raa-ihatal jannati wa anta anni radinArtinya: ” YaTuhanku, berilah hirupan hidungku dengan wewangian syurgaو dan Engkau bagiku adalah yang meridhoi”
Do’a Niat Wudhu
نويت الوضوء لرفع الحدث الأصغر فرضا لله تعالى
Latin
Nawaitul wudhuu-a liraf’il hadatsil asghari fardhan lillaahi ta’laArtinya: ”Saya berniat wudhu’untuk membersihkan dari hadas kecil sebagai kewajiban karena perintahan Allah Yang Maha Tinggi”
Do'a Membasuh Muka
اللهم بيض وجهى بنورك كما تبيض وجوه أوليائك ولا تسود وجهى بظلماتك يوم تسود وجوه أعدائك
Latin
"Allohumma bayyid wajhii binuurika yauma tabyadhu wujuhu auliyaaika, walaa taswaddu wajhii baduluumatika yaumu taswaswaddu wujuuhu a'daaikaArtinya: Ya Alloh, putihkanlah wajahku dengan cahaya-Mu, seperti engkau akan memberi keputihan kepada para kekasih-Mu (Wali-wali-Mu), dan janganlah kau hitamkan wajahku dengan kegelapan-Mu pada hari dimana Kau hitamkan wajah-wajah musuh-Mu".
Do’a Ketika Membasuh Tangan Kanan
اللهم أعطنى كتابى بيمينى وحاسبنى حسابا يسيرا
Latin
Allaahumma a’yinii kitaabii biyaminii waahaasibnii hisaabaan yasiiraa.Artinya: ” Ya Tuhanku,berilah aku kitab (catatan amalku) dari arah tangan kananku dan hisabilah aku dengan mudah (yaitu tidak berbelit-belit).”
Do’a Ketika Membasuh Tangan Kiri
اللهم إنى أعوذبك أن تعطي كتابى بشمالى ولا من وراء ظهرى
Latin
Allohumma innii auudzubika antu'tiya kitaabii bisyimaalii walaa min warooi dhohrii
Atau ada yang ini:
اللهم لا تعطي كتابى بشمالى ولا من وراء ظهرى
Latin
Allaahumma laatu’thinil kitaabiii bi syimaalii wa laa min waraa-i dhahriArtinya: ” Ya Tuhanku ِ aku memohon perlindungan pada-Mu,janganlah Engkau berikan kitab (catatan amal) ku dari arah kiriku dan jaganlah pula dari arah belakangku.”
Do,a Mengusap Kepala.
اللهم حرم شعرى ويشرى على النار وادخلنى تحت عرشك يوم لا ذل إلا ذلك
Latin
Allaahumma harrim sya’rii ’wa basyarii alan naari wazhillanii tahta ’arsika yauma laazhilla illaa zhilluka.Artinya: ” Yaa Allah ya Tuhanku, haramkanlah rambutku dan kulitku dari sengatan api neraka dan naungilah aku di bawah arsy-Mu pada hari tiada naungan kecuali hanya naungan-Mu.”
Do’a Ketika Membasuh Telinga
اللهم اسمعنى القول واتبعنى الحسنة واسمعنى منادي الجنة فى الجنة مع الأبرار
Latin
Allaahumma isma’niyalqoula wattabi'niyalhasanat wasma’nii munaadiyal jannati fil jannati ma’al abraari.Artinya: ”Ya Allah ya Tuhanku, dengarkanlah kepadaku ucaban dan ikutkanlah aku kepada (ucapan) yang baik, dan dengarkanlah kepadaku suara pemangil syurga bersama orang-orang yang berbakti.”
Do’a Membasuh Kaki Kanan.
اللهم ثبت قدمى على صراطك المستقيم مع أقدم عبادك الصالحين
Latin
Allaahumma tsabbit qadamii ’alaash shiraatikal mustaqiimi ma’a aqdaami ibaadikashaalihiin.Artinya: ”Yaa Allah, yaa Tuhanku,tetapkanlah tumuitku diatas titian yang lurus bersama tumit hamba-hamba-Mu yang shaleh.”
Do’a Membasuh Kaki Kiri.
اللهم إنى أعوذ بك أن تجل قدمى على صراط فى النار يوم تجل الأقدام الكافرين
Latin
Allaahumma inni aa’udzubika antazilla qadamii ’alaa shiraati fiin naari yauma tazillal aqdamul kaafiriina.Artinya: ”Yaa Allah yaa Tuhanku,sesungguhnya aku-berlindung kepada-Mu dari keterpelesetan tumuitku dari atas jalan neraka,pada hari dikala terpeleset tumit orang-orang kafir.”
Do’a Setelah Selesai Wudhu.
أَشْهَدُ اَنْ لاَإِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِي مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَوَجْعَلْنَيْ مِن عِبَادِكَ الصَّالِحِيْنَ. أمين
Latin
Asysy hadu an laa illaaha illallaah wah dahulaa syarikalah waasyhadu anna muhammadan ’abduhuu wa rarasuuluhu, allaahummaj ’alnii minat tawaabiina waj’alnii minal mutathahhitiina waj:alnii min ’ibaadikash shaalihiin.Artinya: ”Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Satu-satu-Nya, tiada sekutu bagi-Nya Dan Saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya. Yaa Allah,jadikanlah saya termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang suci dan jadikanlah saya termasuk orang-orang yang shali. dan segala puji bagi-Mu, Ya Alloh. Semoga kau kabulkan permohonanku.”.
Niat wudhu Berikut ini adalah bacaa niat ketika hendak melakukan wudhu ;
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
نَوَيْتُ الْوُضُوْءَلِرَفْعِ الْحَدَثِ الْاَصْغَرِفَرْضًالِلّٰهِ تَعَالٰى
Latin ;
“Nawaitul wudhuu-a liraf’ll hadatsil ashghari fardhal lilaahi ta’aalaa”
Artinya :
"Aku niat berwudhu untuk menghilangkan hadats kecil, fardhu karena Allah."
Tata cara melakukan wudhu
Berikut ini akan ada 2 cara melakukan wudhu, yang pertama penjelasan melakukan wudhu tanpa gambar dan yang berikutnya disertai gambar, jangan hawatir berbeda, karena hanya ada yang disertakan sunnahnya ada yang tidak, di lengkapi versi bergambar supaya lebih mudah dalam memahami, bagi yang masih awam.
1. Apabila seorang muslim mau berwudhu maka hendaknya membaca
"Bismillahirrahmanirrahim" sebab Rasulullah SAW bersabda "Tidak sah wudhu
orang yg tidak menyebut nama Allah" . Dan apabila ia lupa maka tidaklah mengapa.
Jika hanya mengucapkan "Bismillah" saja maka dianggap cukup.
2. Kemudian disunnahkan mencuci kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali sebelum
memulai wudhu.
3. Kemudian berkumur-kumur.
4. Lalu menghirup air dgn hidung lalu mengeluarkannya.
Disunnahkan ketika menghirup air di lakukan dgn kuat kecuali jika dalam keadaan
berpuasa maka ia tidak mengeraskannya krn dikhawatirkan air masuk ke dalam
tenggorokan. Rasulullah bersabda "Keraskanlah di dalam menghirup air dgn hidung
kecuali jika kamu sedang berpuasa."
5. Membaca niat
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
نَوَيْتُ الْوُضُوْءَلِرَفْعِ الْحَدَثِ الْاَصْغَرِفَرْضًالِلّٰهِ تَعَالٰى
Latin ;
“Nawaitul wudhuu-a liraf’ll hadatsil ashghari fardhal lilaahi ta’aalaa”Artinya : "Aku niat berwudhu untuk menghilangkan hadats kecil, fardhu karena Allah."
6. Lalu membasuh muka. Batas muka adl dari batas tumbuhnya rambut kepala bagian
atas sampai dagu dan mulai dari batas telinga kanan hingga telinga kiri. Dan jika
rambut yg ada pada muka tipis maka wajib dicuci hingga pada kulit dasarnya.
Tetapi jika tebal maka wajib mencuci bagian atasnya saja namun disunnahkan
mencelah-celahi rambut yg tebal tersebut. Karena Rasulullah selalu mencelah-celahi
jenggotnya di saat berwudhu.
7. Kemudian mencuci kedua tangan sampai siku krn Allah berfirman
"dan kedua tanganmu hingga siku."
8. Kemudian mengusap kepala beserta kedua telinga satu kali dimulai dari bagian depan
kepala lalu diusapkan ke belakang kepala lalu mengembalikannya ke depan kepala.
Setelah itu langsung mengusap kedua telinga dgn air yg tersisa pada tangannya.
9. Lalu mencuci kedua kaki sampai kedua mata kaki krn Allah berfirman
"dan kedua kakimu hingga dua mata kaki." . Yang dimaksud mata kaki adl benjolan
yg ada di sebelah bawah betis. Kedua mata kaki tersebut wajib dicuci berbarengan
dgn kaki. Orang yg tangan atau kakinya terpotong maka ia mencuci bagian yg
tersisa yg wajib dicuci. Dan apabila tangan atau kakinya itu terpotong semua
maka cukup mencuci bagian ujungnya saja.
10. Ketika berwudhu wajib mencuci anggota-anggota wudhunya secara berurutan tidak
menunda pencucian salah satunya hingga yg sebelumnya kering. Hal ini berdasar
hadits yg diriwayatkan Ibn Umar Zaid bin Sabit dan Abu Hurairah bahwa Nabi
senantiasa berwudu secara berurutan kemudian beliau bersabda
"Inilah cara berwudu di mana Allah tidak akan menerima shalat seseorang
kecuali dgn wudu seperti ini."
11. Boleh mengelap anggota-anggota wudhu seusai berwudhu. namun jika inginmendapatkan sunnahnya maka biarkan saja, jangan di lap.
12. Membaca doa setelah berwudhu (Lihat di bagian doa sesudah dan sebelum berwudhu)
Sunnah dalam Wudhu
Berikut ini adalah beberapa sunnah yang dapat dikerjakan saat melakukan wudhu ;
- Membaca basmalah ketika hendak memulai berwudhu
- Disunnahkan untuk berkumur kumur
- Disunnatkan bagi tiap muslim menggosok gigi sebelum memulai wudhunya krn
Rasulullah bersabda “Sekiranya aku tidak memberatkan umatku niscaya aku perintah
mere-ka bersiwak tiap kali akan berwudhu.”
(Riwayat Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa’).
- Disunnatkan pula mencuci kedua telapak tangan tiga kali sebelum berwudhu
sebagaimana disebutkan di atas kecuali jika setelah bangun tidur maka hukumnya
wajib mencucinya tiga kali sebelum berwudhu. Sebab boleh jadi kedua tangannya
telah menyentuh kotoran di waktu tidurnya sedangkan ia tidak merasakannya.
Rasulullah bersabda “Apabila seorang di antara kamu bangun tidur maka hendaknya
tidak mencelupkan kedua tangannya di dalam bejana air sebelum mencucinya terlebih
dahulu tiga kali krn sesungguhnya ia tidak mengetahui di mana tangannya berada .”
- Disunnatkan keras di dalam meng-hirup air dgn hidung sebagaimana dijelaskan di atas.
- Disunnatkan bagi orang muslim mencelah-celahi jenggot jika tebal ketika membasuh
muka.
- Disunnatkan bagi orang muslim mencelah-celahi jari-jari tangan dan kaki di saat
mencucinya krn Rasulullah bersabda “Celah-celahilah jari-jemari kamu.”.
Mencuci anggota wudhu yg kanan terlebih dahulu sebelum mencuci anggota wudhu
yg kiri. Mencuci tangan kanan terlebih dahulu kemudian tangan kiri dan begitu pula
mencuci kaki kanan sebelum mencuci kaki kiri.
Mencuci anggota-anggota wudhu dua atau tiga kali namun kepala cukup diusap satu
kali usapan saja. Tidak berlebih-lebihan dalam pemakaian air krn Rasulullah berwudhu
dgn mencuci tiga kali lalu bersabda “Barangsiapa mencuci lbh maka ia telah berbuat
kesalahan dan kezhaliman.” Membaca doa setelah berwudhu (Lihat di bagian doa
sesudah dan sebelum berwudhu) Tidak mengeringkan bekas basuhan air setelah
selesai berwudhu Dilanjutkan dengan mengerjakan sholat sunnah setelah berwudhu
Hal-hal yang membatalkan wudhu
Keluar sesuatu dari kubul (penis dan vagina) dan dubur (anus) atau salah satu dari keduanya baik berupa kotoran, air kencing, angin, air mani, madzi, wadi, darah haid dan nifas. Tidur, terkecuali jika tidurnya dengan duduk dan masih dalam keadaan semula (tidak berubah posisi/kedudukannya) Hilang akal, seperti gila, pinsan, atau mabuk Menyentuh kemaluan, (kubul dan dubur), dengan telapak tangan secara langsung (tanpa adanya penghalang seperti kain, dll). baik ,ilik sendiri maupun milik orang lain, dan baik dewasa maupun anak anak Melakukan hubungan suami istrei Bersentuhan kulit laki laki dengan kulit perempuan. laki laki tersebut sudah aqil baligh atau dewasa diantara kulit keduanya tidak ada kain atau baju yang membatasi kuli saat bersentuhan laki laki dan perempuan tersebut bukan muhrimnya (muhrim = orang yang tidak boleh dinikahi), baik karena hubungan nasab/keturunan maupun ikatan perkawinan (mertua terhadap menantunya) dengan menggunakan kulit, jika menggunakan rambut, gigi, dan kuku tidak membatalkan wudhu, untuk orang yang disentuh maupun yang menyentuh, baik tidak sengagaja ataupun bahkan disengaja, keduanya telah batal dalam wudhunya, dan harus berwudhu kembali untuk mensucikan diri.
Beda Pendapat dalam hal yang Membatalkan Wudhu
yang menjadi perselisihan dalam hal membatalkan wudhu Dalam masalah fiqhiyyah baik itu fiqh ibadah ataupun fiqh muamalah sering sekali kita dapati perselisihan di antara ahlul ilmi. Hal ini disebabkan tersamarnya dalil yang jelas dalam pengetahuan mereka, baik dari Al-Qur’an ataupun dari hadits dan karena satu keadaan dimana masing-masing mereka harus berijtihad terhadap permasalahan yang ada, sehingga timbullah beragam pandangan. Permasalahan ini sebetulnya bukan permasalahan yang baru karena sejak zaman sahabat kita dapati mereka berselisih dalam beberapa masalah fiqhiyyah dan diikuti oleh zaman setelahnya dari kalangan para imam. Walaupun kita dapati mereka berselisih dalam berbagai permasalahan, namun mereka terhadap satu dengan yang lainnya saling berlapang dada selama perkara itu bukanlah perkara yang ganjil yang menyelisihi pendapat yang ma‘ruf (atau meyelisihi ijma’), walaupun juga dalam banyak permasalahan kita dapati mereka bersepakat di atasnya. Demikianlah yang ingin kami utarakan sebelum masuk ke dalam masalah yang diperselisihkan di sini, yang mana mungkin penulis berbeda pandangan dalam menguatkan satu permasalahan dengan pembaca, sehingga bila didapati hal yang demikian hendaknya kita berlapang dada. Tentunya dengan tidak menolak pandangan yang ada selama itu adalah ma’ruf di kalangan ahlul ilmi salafus shalih. Mungkin penulis memberikan contoh waqi‘iyyah (kenyataan) yang penulis sendiri mengalaminya (yang terkenang di sisi penulis). Suatu ketika penulis shalat berdampingan dalam satu shaf dengan guru kami Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muqbil rahimahullah. Pada waktu itu penulis berpandangan menggerak-gerakkan jari dalam tasyahud karena memilih pendapat tahrik (menggerak-gerakkan jari) sesuai dengan pendapat yang ma’ruf. Sementara guru kami adalah orang yang sangat keras melemahkan hadits dalam masalah tahrik ini dan memandangnya syadz (ganjil). Namun selesai shalat beliau rahimahullah tidak memaksakan pendapatnya kepada penulis dalam keadaan beliau berkuasa untuk memaksa dan melakukan penekanan. Bahkan yang ada dalam berbagai majelis beliau berbangga dengan keberadaan murid-muridnya yang tidak taqlid (mengikut tanpa dalil) kepada beliau tapi berpegang dengan dalil sekalipun harus berbeda pandangan dengan beliau rahimahullah rahmatan wasi‘atan. Menyentuh wanita Ahlul ilmi terbagi dalam dua pendapat dalam menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسآءَ
Artinya ;
“Atau kalian menyentuh wanita …” (An-Nisa: 43)Pertama: sebagian mereka menafsirkan “menyentuh” dengan jima’ (senggama), seperti pendapat Ibnu ‘Abbas, ‘Ali, ‘Ubay bin Ka’b, Mujahid, Thawus, Al-Hasan, ‘Ubaid bin ‘Umair, Sa’id bin Jubair, Asy-Sya’bi, Qatadah dan Muqatil bin Hayyan. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227)
Kedua: ahlul ilmi yang lain berpendapat “menyentuh” di sini lebih luas/ umum daripada jima’ sehingga termasuk di dalamnya menyentuh dengan tangan, mencium, bersenggolan, dan semisalnya. Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar dari kalangan shahabat. Abu ‘Utsman An-Nahdi, Abu ‘Ubaidah bin Abdillah bin Mas’ud, ‘Amir Asy-Sya’bi, Tsabit ibnul Hajjaj, Ibrahim An-Nakha’i dan Zaid bin Aslam. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227)
Adapun pendapat pertama, bila seseorang menyentuh wanita dengan tangannya atau dengan seluruh tubuhnya selain jima’ maka tidaklah membatalkan wudhu. Sedangkan pendapat kedua menunjukkan sekedar menyentuh wanita, walaupun tidak sampai jima’, membatalkan wudhu. Dari dua penafsiran di atas yang rajih adalah penafsiran yang pertama bahwa yang dimaksud dengan menyentuh dalam ayat di atas adalah jima’ sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam Al-Qur’an sendiri1 dan juga dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa semata-mata bersentuhan dengan wanita (tanpa jima’) tidaklah membatalkan wudhu. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Yang dimaksudkan (oleh ayat Allah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini) adalah jima’, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dan selainnya dari kalangan Arab. Dan diriwayatkan hal ini dari ‘Ali radhiallahu ‘anhu dan selainnya. Inilah yang shahih tentang makna ayat ini. Sementara menyentuh wanita (bukan jima’) sama sekali tidak ada dalilnya dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang menunjukkan bahwa hal itu membatalkan wudhu. Adalah kaum muslimin senantiasa bersentuhan dengan istri-istri mereka namun tidak ada seorang muslim pun yang menukilkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau memerintahkan kepada seseorang untuk berwudhu karena menyentuh para wanita (istri).” Beliau juga berkata: “Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan Al-Hasan bahwa menyentuh di sini dengan tangan dan ini merupakan pendapat sekelompok salaf. Adapun apabila menyentuh wanita tersebut dengan syahwat, tidaklah wajib berwudhu karenanya, namun apabila dia berwudhu, perkara tersebut baik dan disenangi (yang tujuannya) untuk memadamkan syahwat sebagaimana disenangi berwudhu dari marah untuk memadamkannya. Adapun menyentuh wanita tanpa syahwat maka aku sama sekali tidak mengetahui adanya pendapat dari salaf bahwa hal itu membatalkan wudhu.” (Majmu’ Al-Fatawa, 21/410) Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Pendapat yang rajih adalah menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak, sama saja baik dengan syahwat atau tidak dengan syahwat kecuali bila keluar sesuatu darinya (madzi atau mani). Bila yang keluar mani maka wajib baginya mandi sementara kalau yang keluar madzi maka wajib baginya mencuci dzakar-nya dan berwudhu.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail, 4/201, 202) Dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan bahwa bersentuhan dengan wanita (selain jima’) tidaklah membatalkan wudhu di antaranya: Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:
كُنْتُ أَناَمُ بَيْنَ يَدَي رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلاَيَ فِي قِبْلَتِهِ، فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ، فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهَا
Artinya ;
“Aku pernah tidur di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan kedua kaki di arah kiblat beliau (ketika itu beliau sedang shalat, pen) maka bila beliau sujud, beliau menyentuhku (dengan ujung jarinya) hingga aku pun menekuk kedua kakiku. Bila beliau berdiri, aku kembali membentangkan kedua kakiku.” (HR. Al-Bukhari no. 382 dan Muslim no. 512)Aisyah radhiallahu ‘anha juga mengabarkan:
فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَلْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُوْلُ: اللّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
Artinya ;
“Suatu malam, aku pernah kehilangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidurku. Maka aku pun meraba-raba mencari beliau hingga kedua tanganku menyentuh bagian dalam kedua telapak kaki beliau yang sedang ditegakkan. Ketika itu beliau di tempat shalatnya (dalam keadaan sujud) dan sedang berdoa: Ya Allah, aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu dan dengan maaf-Mu dari hukuman-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari-Mu, aku tidak dapat menghitung pujian atas-Mu, Engkau sebagaimana yang Engkau puji terhadap diri-Mu.”(HR. Muslim no. 486)
Muntah Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa muntah mengharuskan seseorang untuk berwudhu dengan dalil hadits Ma’dan bin Abi Thalhah dari Abu Ad-Darda bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah muntah, lalu beliau berbuka dan berwudhu. Kata Ma’dan: “Aku berjumpa dengan Tsauban di masjid Damaskus, maka aku sebutkan hal itu padanya, Tsauban pun berkata: “Abu Ad-Darda benar, akulah yang menuangkan air wudhu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. At-Tirmidzi no. 87)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Al-Baihaqi mengatakan bahwa hadits ini diperselisihkan (mukhtalaf) pada sanadnya. Kalaupun hadits ini shahih maka dibawa pemahamannya pada muntah yang sengaja.” Di tempat lain Al-Baihaqi berkata: “Isnad hadits ini mudhtharib (goncang), tidak bisa ditegakkan hujjah dengannya.” (Nailul Authar, 1/268). Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah di dalam ta’liq beliau terhadap kitab Ar-Raudhatun Nadiyyah mengatakan: “Hadits-hadits yang diriwayatkan dalam masalah batalnya wudhu karena muntah adalah lemah semuanya, tidak dapat dijadikan hujjah.” (ta’liq beliau dinukil dari Ta’liqat Ar-Radhiyyah, 1/174)2 Ulama berselisih pendapat dalam masalah muntah ini: - Di antara mereka ada yang berpendapat muntah itu membatalkan wudhu seperti Abu Hanifah dan pengikut mazhab Abu Hanifah, dengan syarat muntah itu berasal dari dalam perut, memenuhi mulut dan keluar sekaligus.
(Nailul Authar, 1/268)
Al-Imam At-Tirmidzi t berkata: “Sebagian ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain mereka dari kalangan tabi’in berpandangan untuk berwudhu disebabkan muntah dan mimisan. Demikian pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad dan Ishaq. Sementara sebagian ahlul ilmi yang lainnya berpendapat tidak ada keharusan berwudhu karena muntah dan mimisan, demikian pendapat Malik dan Asy-Syafi’i. (Sunan At-Tirmidzi, 1/59) - Adapun ulama yang lain seperti 7 imam yang faqih dari Madinah, Asy-Syafi‘i dan orang-orang yang mengikuti mazhab Asy-Syafi’i, juga satu riwayat dari Al-Imam Ahmad menunjukkan bahwa keluar sesuatu dari tubuh selain qubul dan dubur tidaklah membatalkan wudhu, baik sedikit ataupun banyak, kecuali bila yang keluar dari tubuh itu kencing ataupun tahi.
(Nailul Authar, 1/268, Asy-Syarhul Mumti’, 1/234).
Inilah pendapat yang rajih dan menenangkan bagi kami. Mereka berdalil sebagai berikut: Hukum asal perkara ini tidaklah membatalkan wudhu. Sehingga barangsiapa yang menyatakan suatu perkara menyelisihi hukum asalnya maka hendaklah ia membawakan dalil. Sucinya orang yang berwudhu dinyatakan dengan pasti oleh kandungan dalil syar‘i, maka apa yang telah pasti tidaklah mungkin mengangkat kesuciannya (menyatakan hilang/ membatalkannya) kecuali dengan dalil syar‘i. Hadits yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama telah dilemahkan oleh mayoritas ulama. Apa yang ditunjukkan dalam hadits ini adalah semata-mata fi‘il (perbuatan) sedangkan yang semata-mata fi‘il tidaklah menunjukkan suatu yang wajib. (Asy-Syarhul Mumti‘, 1/224-225) Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Tidaklah batal wudhu dengan keluarnya sesuatu dari selain dua jalan (qubul dan dubur) seperti pendarahan, darah yang keluar karena berbekam, muntah dan mimisan, sama saja baik keluarnya banyak ataupun sedikit.
Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Abi Aufa, Jabir, Abu Hurairah, ‘Aisyah, Ibnul Musayyab, Salim bin Abdillah bin ‘Umar, Al-Qasim bin Muhammad, Thawus, ‘Atha, Mak-hul, Rabi’ah, Malik, Abu Tsaur dan Dawud. Al-Baghawi berkata: “Ini merupakan pendapat mayoritas shahabat dan tabi`in.” (Al-Majmu’, 2/63) Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’atur Rasail Al-Kubra, beliau berpendapat hukumnya di sini adalah sunnah sebagaimana dinukilkan oleh Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah. Demikian juga beliau menyatakan sunnahnya berwudhu setelah muntah. (Tamamul Minnah, hal. 111, 112) Sementara hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَصَابَهَ قَيْءٌ أَوْ رُعَافٌ أَوْ قَلَسٌ أَوْ مَذِيٌ
فَلْيَنْصَرِفْ، فَلْيَتَوَضَّأْ…
Artinya ;
“Siapa yang ditimpa (mengeluarkan) muntah, mimisan, qalas4 atau madzi (di dalam shalatnya) hendaklah ia berpaling dari shalatnya lalu berwudhu.”(HR. Ibnu Majah no. 1221)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Hadits ini dinyatakan cacat oleh sebagian Ahlul Hadits karena setiap periwayatan Isma’il ibnu ‘Iyasy dari orang-orang Hijaz semuanya dinilai lemah. Sementara dalam hadits ini Isma’il meriwayatkan dari Ibnu Juraij yang dia itu orang Hijaz. Juga karena para perawi yang meriwayatkan dari Ibnu Juraij –yang mereka itu adalah para tokoh penghapal– meriwayatkannya secara mursal (menyelisihi periwayatan Isma’il yang meriwayatkannya secara ittishal (bersambung) – pen.), sebagaimana hal ini dikatakan oleh penulis kitab Muntaqal Akhbar. Terlebih lagi riwayat yang mursal ini dinyatakan shahih oleh Adz-Dzuhli, Ad-Daruquthni dalam kitab Al-’Ilal, begitu pula Abu Hatim dan beliau mengatakan telah terjadi kesalahan dalam periwayatan Isma’il. Ibnu Ma’in berkata hadits ini dha’if. (Nailul Authar, 1/269) Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan bahwa Al-Imam Ahmad dan selain beliau men-dha’if-kan hadits ini (Bulughul Maram hal. 36) Darah yang keluar dari tubuh Darah yang keluar dari tubuh seseorang, selain kemaluannya tidaklah membatalkan wudhu, sama saja apakah darah itu sedikit ataupun banyak. Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu Abi Aufa, Abu Hurairah, Jabir bin Zaid, Ibnul Musayyab, Mak-hul, Rabi’ah, An-Nashir, Malik dan Asy-Syafi’i. (Nailul Authar, 1/269-270). Dan ini pendapat yang rajih menurut penulis. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab. Dari kalangan ahlul ilmi ada yang membedakan antara darah sedikit dengan yang banyak. Bila keluarnya sedikit tidak membatalkan wudhu namun bila keluarnya banyak akan membatalkan wudhu. Hal ini seperti pendapat Abu Hanifah, Al-Imam Ahmad dan Ishaq. (Nailul Authar, 1/269)
Adapun dalil bahwa darah tidak membatalkan wudhu adalah hadits tentang seorang shahabat Al-Anshari yang tetap mengerjakan shalat walaupun darahnya terus mengalir karena luka akibat tikaman anak panah pada tubuhnya
(HR. Al-Bukhari secara mu‘allaq dan secara maushul oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 193)
Seandainya darah yang banyak itu membatalkan wudhu niscaya shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dilarang untuk mengerjakan shalat dan akan disebutkan teguran dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas shalat yang ia kerjakan tersebut dan akan diterangkan kepadanya atau siapa yang bersamanya. Karena mengakhirkan penjelasan/ penerangan pada saat dibutuhkan penerangannya tidaklah diperbolehkan. Mereka para shahabat radhiallahu ‘anhum sering terjun ke dalam medan pertempuran hingga badan dan pakaian mereka berlumuran darah. Namun tidak dinukilkan dari mereka bahwa mereka berwudhu karenanya dan tidak didengar dari mereka bahwa perkara ini membatalkan wudhu. (Sailul Jarar, 1/262, Tamamul Minnah, hal. 51-52) Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab wal ilmu ‘indallah. Seperti dalam ayat: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi wanita-wanita mukminah kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh mereka, maka tidak ada kewajiban bagi mereka untuk menjalani iddah.” (Al-Ahzab: 49) Ayat ini jelas sekali menunjukkan bahwa menyentuh yang dikaitkan dengan wanita maka yang dimaksudkan adalah jima’. Di antara imam ahlul hadits ada juga yang menguatkan hadits ini seperti Ibnu Mandah dan Asy-Syaikh Al-Albani di Tamamul Minnah, beliau mengatakan sanadnya shahih (hal. 111) Adapun permasalahan yang disebutkan di sini juga merupakan perkara yang diperselisihkan ahlul ilmi sebagaimana disebutkan sendiri oleh Al-Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu‘ (2/63).
Qalas adalah muntah yang keluar dari tenggorokan, bukan dari perut.
(Subulus Salam, 1/105)