Kamis, 23 Agustus 2018

Hukum Menjual Daging Kurban








Hukum Kurban
Ibadah kurban hukumnya adalah sunnah muakkad, atau sunnah yang dikuatkan. Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkan ibadah kurban sejak disyariatkannya sampai beliau wafat. Ketentuan kurban sebagai sunnah muakkad dikukuhkan oleh Imam Malik dan Imam al-Syafi’i. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa ibadah kurban bagi penduduk yang mampu dan tidak dalam keadaan safar (bepergian), hukumnya adalah wajib. (Ibnu Rusyd al-Hafid: tth: 1/314).

Keutamaan Kurban
Menyembelih kurban adalah suatu sunnah Rasul yang sarat dengan hikmah dan keutamaan. Hal ini didasarkan atas informasi dari beberapa haditst Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam, antara lain:
 عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ إِنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنْ الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا 
 Aisyah menuturkan dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda, “Tidak ada suatu amalan yang dikerjakan anak Adam (manusia) pada hari raya Idul Adha yang lebih dicintai oleh Allah dari menyembelih hewan. Karena hewan itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya, dan kuku-kuku kakinya. Darah hewan itu akan sampai di sisi Allah sebelum menetes ke tanah. Karenanya, lapangkanlah jiwamu untuk melakukannya.” (Hadits Hasan, riwayat al-Tirmidzi: 1413 dan Ibn Majah: 3117)


Pemotongan Udh-hiyah
Pemotongan udh-hiyah (hewan qurban) pada hari raya ‘Īdul Adh-ha merupakan salah satu bentuk ibadah ritual yang hanya boleh dipersembahkan dan ditujukan dengan ikhlas kepada Allah semata. Apa-Yang-Sebaiknya-Kita-Lakukan-Untuk-Membagikan-Kulit-Hewan-Qurban Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ berfirman
 فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ 
“Maka dirikanlan shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah (karena Tuhanmu pula).”
(QS Al-Kautsar/108: 2)

Dengan demikian prosesi menyembelih hewan qurban yang dilakukan sebagai ibadah ritual persembahan untuk Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ adalah salah satu bentuk representasi kemurnian iman dan tauhid seorang mukmin. Allah berfirman:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّـهِ رَبِّ الْعٰلَمِينَ ﴿الأنعام:١٦٢
لَا شَرِيكَ لَهُۥ ۖ وَبِذٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا۠ أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ ﴿الأنعام:١٦٣
“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadah (sembelihan)ku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (QS Al-An’âm/6: 162-163).

Dan sebaliknya memeruntukkan dan memersembahkan sembelihan apa pun kepada selain Allah adalah sebuah tindakan syirik yang dilaknat oleh Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam:
 وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ
 “Dan Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah.”
  (Hadits Riwayat Muslim dari jalur Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu `anhu,
  Shahîh Muslim, juz VI, hal. 84, hadits no. 5239))

Menurut jumhur ulama tidak ada bagian manapun dari hewan qurban yang boleh dijual
belikan atau dijadikan upah pemotongan hewan. Dalam hadits yang berasal dari Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu ‘anhu dinyatakan:
 أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُ أَنْ يَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَمَرَهُ أَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلَالَهَا فِي الْمَسَاكِينِ وَلَا يُعْطِيَ فِي جِزَارَتِهَا مِنْهَا شَيْئًا 
“Sesungguhnya Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam memerintahnya (Ali) untuk mengurus onta-onta sembelihan (sebagai hadyu atau qurban) milik beliau, dan memerintahkan agar dia membagi-bagikan dagingnya, kulitnya dan bahkan “baju”-nya kepada orang-orang miskin, serta agar dia tidak memberikan sesuatu pun dari bagian hewan qurban itu kepada jagal (sebagai ongkos/upah).” (Hadits Riwayat Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, juz II, hal. 211, hadits no 1717; dan Muslim, Shahîh Muslim, juz IV, hal. 87, hadits no. 3244).

Hukum Penjualan Daging Qurban
Tahun 2018 ini sudah lebih baik dibanding dengan tahun tahun sebelumnya, penjualan daging qurban sudah banyak berkurang, walau penjualan daging qurban masih saja terjadi di beberapa masjid. Karena itu penulis sangat berharap perlunya menyebar luaskan baik dalam ceramah, khutbah dan tausyiah. Para pembaca yang budiman pun dapat ikut berpartisipasi tausyiah Islami dengan menshare ke pelbagai medsos seperti facebook, twitter dan whatsapps. dengan demikian dan sangat diharapkan para panitia. Kurban Idul Adha semakin mengerti hukum menjual daging kurban. Tetapi seharusnya para panitia kurban harus dibekali ilmu sehingga tidak salah arah.



Salah satu kesalahan fatal yang sering terjadi dan bahkan berulang-ulang setiap tahun adalah kasus “menjual daging kurban atau hewan udhiyah”. Bolehkah?
Dari kaca mata hukum agama Islam, menjual daging kurban hukumnya haram. Karena itu, panitia dilarang menjual daging kurban. Dan, yang dilarang ini sebenarnya bukan hanya menjual dagingnya, tetapi semua yang termasuk bagian dari tubuh hewan udhiyah hukumnya tidak boleh diperjual-belikan.

Sayangnya, justru kita sering kali menyaksikan bahwa kulit, wol, rambut, kepala, kaki, tulang dan bagian lainnya, diperjual-belikan oleh panitia. Mungkin tujuannya baik, yaitu untuk membiayai proses penyembelihan, bukan untuk dijadikan keuntungan atau upah. Namun, larangan menjual bagian-bagian tubuh itu bersifat mutlak, tidak berubah menjadi halal hanya lantaran tujuannya untuk kepentingan penyembelihan juga.

Dalil Larangan
Dalil terlarangnya hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra bahwa Nabi Muhammad saw bersabda:
 مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ 
 “Siapa menjual kulit hasil sembelihan qurban, maka tidak ada qurban baginya”.
  (HR. Al Hakim).

Selain larangan dari hadits di atas, ’illat atau alasan utama kenapa menjual bagian tubuh hewan udhiyah dilarang adalah karena qurban disembahkan sebagai bentuk taqarrub pada Allah, yaitu mendekatkan diri pada-Nya, sehingga tidak boleh diperjualbelikan.

Alasan lainnya lagi adalah kita tidak diperkenankan memberikan upah kepada jagal dari hasil sembelihan qurban. Dari sini, tidak tepat praktek sebagian kaum muslimin dan panitia ketika melakukan ibadah yang satu ini (penyembelihan kurban) dengan menjual hasil qurban, termasuk yang sering terjadi adalah menjual kulit. Bahkanm untuk menjual kulit terdapat hadits khusus yang melarangnya. Larangan menjual hasil sembelihan qurban adalah pendapat para Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad. Imam Asy-Syafi’i mengatakan:
 “Binatang qurban termasuk nusuk (hewan yang disembelih untuk mendekatkan diri
  pada Allah). Hasil sembelihannya boleh dimakan, boleh diberikan kepada orang lain
  dan boleh disimpan. Aku tidak menjual sesuatu dari hasil sembelihan qurban”.

Barter antara daging qurban dengan barang lainnya termasuk jual beli sehingga barter juga dilarang. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat dibolehkannya menjual hasil sembelihan qurban, namun hasil penjualannya disedekahkan. Akan tetapi, yang lebih selamat dan lebih tepat, hal ini tidak diperbolehkan berdasarkan larangan dalam hadits di atas dan alasan yang telah disampaikan.

Catatan penting yang perlu diperhatikan;
“Pembolehan menjual hasil sembelihan qurban oleh Abu Hanifah adalah ditukar dengan barang karena seperti ini termasuk kategori pemanfaatan hewan qurban menurut beliau. Jadi beliau tidak memaksudkan jual beli di sini adalah menukar dengan uang. Karena menukar dengan uang secara jelas merupakan penjualan yang nyata. Inilah keterangan dari Syaikh Abdullah Ali Bassam dalam Tawdhihul Ahkam dan Ash Shan’ani dalam Subulus Salam. Sehingga, kesimpulannya adalah tidak tepat menjual kulit atau bagian lainnya, lalu mendapatkan uang sebagaimana yang dipraktekan sebagian panitia qurban saat ini. Mereka sengaja menjual kulit agar dapat menutupi biaya operasional atau untuk makan-makan panitia.



Menjual Kulit Hewan Qurban
Tentang menjual kulit hewan qurban, para ulama berbeda pendapat:
Pertama: Tetap terlarang. Ini pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits di atas. Inilah pendapat yang lebih kuat karena berpegang dengan zhahir hadits (tekstual hadits) yang melarang menjual kulit sebagaimana disebutkan dalam riwayat Al-Hakim. Berpegang pada pendapat ini lebih selamat, yaitu terlarangnya jual beli kulit secara mutlak.

Kedua: Boleh, asalkan ditukar dengan barang (bukan dengan uang). Ini pendapat Abu Hanifah. Pendapat ini terbantah karena menukar juga termasuk jual beli. Pendapat ini juga telah disanggah oleh Imam Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Umm. Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Aku tidak suka menjual daging atau kulitnya. Barter hasil sembelihan qurban dengan barang lain juga termasuk jual beli.”

Ketiga: Boleh secara mutlak. Ini pendapat Abu Tsaur sebagaimana disebutkan oleh An Nawawi. Pendapat ini jelas lemah karena bertentangan dengan zhahir hadits yang melarang menjual kulit.

Sebagai nasehat buat panitia qurban “hendaklah kulit tersebut diserahkan secara cuma-cuma kepada siapa saja yang membutuhkan, bisa kepada fakir miskin atau yayasan sosial. Setelah diserahkan kepada mereka, terserah mereka mau manfaatkan untuk apa. Kalau yang menerima kulit tadi mau menjualnya kembali, maka itu dibolehkan. Namun hasilnya tetap dimanfaatkan oleh orang yang menerima kulit qurban tadi dan bukan dimanfaatkan oleh shohibul qurban atau panitia qurban (wakil shohibul qurban).

Diharamkan untuk menjual bagian dari tubuh hewan yang telah disembelih sebagai udhiyah. Dalam masalah menyembelih hewan qurban, kita mengenal dua pihak. Pihak pertama adalah pihak yang beribadah dengan menyembelih hewan qurban. Pihak kedua adalah mustahiq, yaitu fakir miskin yang menerima pemberian. Dalam masalah pembagian daging hewan qurban, kedua belah pihak sebenarnya sama-sama berhak untuk memakannya. Jadi yang berkurban boleh makan dan yang berhak (mustahiq) juga boleh makan. Bedanya, kalau pihak yang berqurban, hanya boleh makan saja sebagian, tapi tidak boleh menjualnya. Misalnya, ketika menyembelih seekor kambing, dia boleh mendapatkan misalnya satu paha untuk dimakan. Tapi kalau timbul niat untuk menjual paha itu ke tukang sate, meski niatnya agar duitnya untuk diberikan kepada fakir miskin juga, secara hukum ritual qurban, hal itu tidak bisa dibenarkan. Maka hal yang sama berlaku juga bila yang dijual itu kulit, kaki dan kepala hewan qurban. Hukumnya tidak boleh dan merusak sah-nya ibadah qurban. Dalilnya adalah khabar berikut ini:
 مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ 
Orang yang menjual kulit hewan qurban, maka tidak ada qurban baginya. (HR Al-Hakim) Ketidak-bolehan seorang yang menyembelih hewan qurban untuk menjual kulitnya bisa kita dapati keterangannya dalam beberapa kitab. Antara lain: Kitab Al-Mauhibah jilid halaman 697, Kitab Busyral-Kariem halaman 127, Kitab Fathul Wahhab jilid 4 halaman 196, Kitab Asnal Matalib jilid 1 halaman 125.





Semoga Bermanfaat




Tidak ada komentar:

Posting Komentar